The struggle for independence in the Republic of West Papua from Indonesia

The struggle for independence in the Republic of West Papua has a long and complex history, rooted in the cultural, historical, political, and social factors that have shaped the region for centuries. Situated on the western half of the island of New Guinea, West Papua has been under Indonesian control since 1963, following the controversial Act of Free Choice in 1969, which saw a select group of Papuans vote to become part of Indonesia.

However, many indigenous Papuans argue that this vote was heavily coerced and did not represent the true desires of the people, who have long sought independence from Indonesian rule. The Papuan independence movement has been marked by peaceful protests, armed resistance, and ongoing conflict with Indonesian security forces, leading to a high level of human rights violations and casualties among the civilian population.

Culturally, the Papuan people have a deep connection to their land and natural resources, which they believe are being exploited by the Indonesian government without proper consultation or consent. This has led to environmental degradation, displacement of communities, and loss of traditional ways of life for many indigenous Papuans.

Politically, the Indonesian government has been accused of suppressing dissent and restricting freedom of expression in West Papua, making it difficult for Papuan voices to be heard on the international stage. International organizations such as the United Nations have called for greater respect for human rights in the region, but progress has been slow and limited in the face of Indonesian opposition.

The benefits of the independence movement for the indigenous Papuan people are clear: they seek self-determination, cultural preservation, and control over their own resources. Many Papuans believe that independence would bring greater autonomy, economic development, and social justice to their communities.

On the other hand, the Indonesian government argues that West Papua is an integral part of the country and that independence would threaten national unity and stability. In recent years, there have been efforts to improve infrastructure, healthcare, and education in West Papua, but critics argue that these measures are not enough to address the underlying grievances of the Papuan people.

Recent developments in the conflict include continued reports of violence, human rights abuses, and restrictions on access for journalists and human rights monitors. The situation remains volatile, with no clear end in sight to the decades-long struggle for independence.

Personal stories from Papuan activists, community leaders, and victims of human rights violations highlight the suffering and resilience of the indigenous population. As one activist, Benny Wenda, has said, “We will continue to fight for our freedom and our rights until justice is served for the people of West Papua.”

In conclusion, the independence movement in West Papua is a complex and deeply entrenched issue that requires a nuanced understanding of the historical, cultural, and political factors at play. By exploring the perspectives of different stakeholders and shedding light on the human rights violations that continue to occur in the region, we can educate ourselves and others on the importance of justice, freedom, and self-determination for all peoples. It is my hope that this blog post will inspire critical thinking and awareness of the challenges facing the people of West Papua, as they continue their struggle for independence and justice.

by Amunggut Tabi, General WPRA

Sikap Politik/ Pandangan Umum WPA di KTT ULMWP Port Vila, Vanuatu 2023

West Papua Army (WPA)

Komando West Papua Revolutionary Army (WPRA)

Pandangan Umum WPRA affiliasi WPA

Port Vila, Republic of Vanuatu

Date: Agustus 2023

www: westpapuaarmy.com – e: hq@westpapuaarmy.com

Pandangan Umum

Atas nama moyang bangsa Papua, atas nama segenap komunitas makhluk, atas nama tulang-belulang dan atas nama anak-cucu yang akan datang,

Terpujilah nama YAHWEH: Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.

Atas nama West Papua Revolutionary Army (WPRA), saya, sebagai komando afiliasi dari West Papua Army (WPA) menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Sidang ini atas waktu yang diberikan kepada kami oleh tuan Menteri Pertahanan dan Kemanan ULMWP.

Yang kami hormati, pimpinan dan anggota Komite Lefislatif United Liberation Movement for West Papua (ULWMP),

Yang kami hormati, pimpinan dan anggota Komite Judicatif ULWMP,

Yang kami hormati, pimpinan dan anggota Komite Eksekutif ULWMP,

Yang kami hormati, pimpinan pilar pendiri, organisasi afiliasi, organisasi non-afiliasi dan organisai pendukung.

Yang kami hormati, perwakilan gereja-gereja di West Papua, pimpinan Dewan Adat Papua, utusan pasukan atau perwira komando pertahanan di tanah air serta di pengasingan,

Yang kami hormati, pendiri, organisasi afiliasi, organisasi non-afiliasi dan organisai pendukung,

Yang kami hormati, segenap komunitas makhluk yang kelihatan dan tidak kelihat, yang ada di segenap jagat-raya alam semesta.

Perkenankanlah saya, General Amunggut Tabi, BRN: A.DF 018676, dengan ini menyampaikan pandangan umum terhadap ULMWP secara umum berdasarkan perintah dari Panglima Komando West Papua Army, Chief General Mathias Wenda ditambah pandangan pribadi sebagai Perwira Tinggi dalam WPRA.

Pertama-tama, West Papua Army menyatakan sikap mendukung penuh dan siap mengawal Konstitusi United Liberation Movement for West Papua dan Pemerintah Sementara ULMWP berdasarkan Konstitusi Sementara ULMWP hasil sidang KTTLB tahun 2020 di Port Numbay, West Papua.

Kedua, West Papua Army menyatakan penyesalan sebesar-besarnya atas seluruh tindak-tanduk ULMWP yang mengancam keberlanjutan dan pencapaian cita-cita perjuangan bangsa Papua selama hampir satu abad ini.

Alasan pertama WPA berpandangan bahwa berdemokrasi dalam era revolusi adalah sebuah kecelakaan yang telah mencederai perjuangan bangsa Papua, yang telah mengancam eksistensi komando sayap militer dan sayap politik serga organ-organ perjuangan lain seperti kita sedang saksikan dalam sindang yang terhormat ini. Sulit bagi kita memahami bagaimana memelihara demokrasi dalam era revolusi, bagaimana sebuah bangsa berdemokrasi di era revolusi. Kita sedang memaksakan perkawinan dua makhluk yang speciesnya berbeda, seperti ikan hendak dikawinkan dengan ayam.

Kami berpandangan bahwa dari awal telah terjadi kecelakaan cukup memprihatinkan, dan akibatnya sampai dengan saat ini, pendekatan perjuangan bangsa Papua telah bergeser dari perjuangan yang inclusive, revolusioner dan progressive, menjadi perjuangan yang sangat elitist, exclusive dan demokratis. Dengan kata lain, kita, entah dengan sengaja atau tidak telah mengebiri semangat revolusioner yang progressive dan inclusive. Dengan gembira kita saksikan dalam sidang ini, di mana organisasi perjuangan yang selama ini aktiv di lapanangan tidak diberi hak yang sama, karena mereka tidak berafiliasi dengan tiga pilar pendiri, yaitu PNWP, WPNCL dan NFRPB.

West Papua Army berpandangan sama persis dengan perasaan, sikap dan pandangan organ non-afiliasi, bahwa West Papua Army harus diberikan posisi tersendiri dan terpisah dalam sidang ini. Ini era revolusi, bukan era demokrasi, tanpa militer, maka sebuah perjuangan pembebasan di abad ini tidak akan pernah berhasil. Tanpa organisasi yang revolusioner, inclusive dan progressive, dengan menempatkan sayap militer sebagai sayap terpenting dalam perjuangan, maka perjuangan politik akan mengalami jalan buntu, karena politik tidak mengenal benar atau salah, akan tetapi kepentingan, dan politik tidak mengenal musuh abadi, setiap saat selalu dinamis dan speculative.

Cukup dengan dua alasan ini, maka kami berpandangan bahwa Konstitusi ULMWP 2020 yang disusul dengan pembentukan Pemerintah ULMWP atau Pemeirntah Sementara ialah jalan terobosan yang formal, legal dan rasional untuk mengatasi yang kami anggap sebagai turbulence yang dialami oleh perjuangan bangsa Papua saat ini. Kami percaya, Konstitusi ULMWP 2020 ini jalan keluar dari kemacetan arus lalulintas komunikasi yang sedang terjadi saat ini.

Yang ketiga, kami tambahkan hal-hal teknis, akan tetapi cukup penting untuk diperhatikan. Kesatu, terpapar jelas dalam keseruruhan energi para pejuang kita bahwa “etika, moralitas dan rasa malu” atas perbuatan yang mencela perjuangan sama-sekali tidak terlihat dalam perjuangan kita. Ada individu atau organisasi dengan mudah keluar-masuk ULMWP tanpa rasa malu atau dengan tidak sopan. Kita bertahan pada posisi sebagai pejuang dan organisasi perjuangan, akan tetapi mencederai etika dan moral sebagai standard peradabaan sebuah bangsa. Tingkat peradaban kita diproyeksikan kepada dunia bahwa kita belum tahu malu.

Kedua, tabiat bangsa Papua sebagai pemberontak pemerintah atau pemimpin atau aturan atau kesepakatan sangat jelas terbawa dalam organisasi dan kepemimpinan kita orang Papua sendiri. Akibatnya apa? Kita bersikap tidak sopan kepada pempimpin kita sendiri. Kita selalu mencari kesalahan tetapi jarang memberikan solusi. Kita selalu melawan keputusan dan pemimpin yang telah kita anggap sebagai pemimpin, dan yang dipandang khalayak umum di dunia sebagai icon perjuangan bangsa Papua. Kita juga selalu berbantah-bantahan dan mengeluarkan sikap yang tidak tertib, tidak tahu adat dan tidak pantas. Kita harus belajar lagi kepantasan dan kepatutan kita dalam berinteraksi dan memperjuangkan aspirasi bangsa kita.

Yang terakhir, West Papua Army berkeyakinan dan karena itu mengundang kita semua agar dengan akal sehat dan mental revolusioner, mempelajari jiwa dari Konstitusi ULMWP 2020 dan mensahkannya. Mengapa demikian? Kami berikan tiga contoh. Kesatu, Konstitusi ULMWP 2020 telah memasukkan semua pihak ke dalam organ perjuangan bangsa Papua, termasuk gereja, adat, organ perjuangan lain dan komando-komando pertahanan, serta yang terpenting mencakup 7 Wilayah Adat Papua, Kaum Perempuan dan Anak, dan segenap makhluk selain makhluk manusia.

Kedua, Konstitusi ULMWP 2020 memformat ULMWP dengan memberikan lebih banyak ruang maneuver kepada pucuk pimpinan, tetapi waktu bersamaan sangat inclusive, di mana Komite Executive menjadi organ yang siap di mata Indonesia dan di mata dunia, ujung tombak yang dikawal oleh Dewan Legislatif dan Dewan Judicatif. Ini format yang, bagi kami, sangat ideal bagi konteks West Papua secara geografis dan bangsa Papua secara social, budaya dan dinamika real-politik.

Terpujilah nama  YHWH: Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus!

“Papua!…… “ “Merdeka!….”

Salute,

Amunggut Tabi, General WPRA
BRN: A.DF 018676

Sekjend WPA: Selamat HUT Kabinet 12 dan Komando WPA

Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) West Papua Army (WPA), dengan ini disampaikan kepada

  1. Para Kepala Staff West Papua Army;
  2. Para Panglima Komando Pertahanan Daerah West Papua Army;
  3. Prajurit Angkatan Bersenjata West Papua Army di medan tempur;
  4. Rakyat bangsa Papua di manapun Anda berada.

agar merayakan HUT (Hari Ulang Tahun:

  1. Pembentukan 12 Kabinet Pemerintahan Sementara West Papua (1 Mei 2021 – 1 Mei 2022);
  2. Penyatuan Komando West Papua Army (1 Mei 2018 – 1 Mei 2022), dan
  3. Pengangkatan Panglima Komando West Papua Army (1 Mei 2021 – 1 Mei 2022

dan selanjutnya disampaikan kepada semua pihak untuk mendukung segala kebijakan Pemerintah Sementara West Papua United Liberation Movement for West Papua di bawah kepemimpinan Interim-President Honourable Benny Wenda.

Atas nama Panglima Komando West Papua Army, Chief Gen. Mathias Wenda, surat ini ditanda-tangani dan dikeluarkan oleh Gen. Amunggut Tabi, Sekretais-jenderal WPA.

Disampaikan pula bahwa akan dilangsungkan Upacara Militer dalam rangka HUT West Papua Army di Markas Pusat Pertahanan WPA di Yako, Vanimo, Sandaun, Papua New Guinea.

Blog at WordPress.com.

Up ↑

Design a site like this with WordPress.com
Get started