Sikap Politik/ Pandangan Umum WPA di KTT ULMWP Port Vila, Vanuatu 2023

West Papua Army (WPA)

Komando West Papua Revolutionary Army (WPRA)

Pandangan Umum WPRA affiliasi WPA

Port Vila, Republic of Vanuatu

Date: Agustus 2023

www: westpapuaarmy.com – e: hq@westpapuaarmy.com

Pandangan Umum

Atas nama moyang bangsa Papua, atas nama segenap komunitas makhluk, atas nama tulang-belulang dan atas nama anak-cucu yang akan datang,

Terpujilah nama YAHWEH: Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.

Atas nama West Papua Revolutionary Army (WPRA), saya, sebagai komando afiliasi dari West Papua Army (WPA) menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Sidang ini atas waktu yang diberikan kepada kami oleh tuan Menteri Pertahanan dan Kemanan ULMWP.

Yang kami hormati, pimpinan dan anggota Komite Lefislatif United Liberation Movement for West Papua (ULWMP),

Yang kami hormati, pimpinan dan anggota Komite Judicatif ULWMP,

Yang kami hormati, pimpinan dan anggota Komite Eksekutif ULWMP,

Yang kami hormati, pimpinan pilar pendiri, organisasi afiliasi, organisasi non-afiliasi dan organisai pendukung.

Yang kami hormati, perwakilan gereja-gereja di West Papua, pimpinan Dewan Adat Papua, utusan pasukan atau perwira komando pertahanan di tanah air serta di pengasingan,

Yang kami hormati, pendiri, organisasi afiliasi, organisasi non-afiliasi dan organisai pendukung,

Yang kami hormati, segenap komunitas makhluk yang kelihatan dan tidak kelihat, yang ada di segenap jagat-raya alam semesta.

Perkenankanlah saya, General Amunggut Tabi, BRN: A.DF 018676, dengan ini menyampaikan pandangan umum terhadap ULMWP secara umum berdasarkan perintah dari Panglima Komando West Papua Army, Chief General Mathias Wenda ditambah pandangan pribadi sebagai Perwira Tinggi dalam WPRA.

Pertama-tama, West Papua Army menyatakan sikap mendukung penuh dan siap mengawal Konstitusi United Liberation Movement for West Papua dan Pemerintah Sementara ULMWP berdasarkan Konstitusi Sementara ULMWP hasil sidang KTTLB tahun 2020 di Port Numbay, West Papua.

Kedua, West Papua Army menyatakan penyesalan sebesar-besarnya atas seluruh tindak-tanduk ULMWP yang mengancam keberlanjutan dan pencapaian cita-cita perjuangan bangsa Papua selama hampir satu abad ini.

Alasan pertama WPA berpandangan bahwa berdemokrasi dalam era revolusi adalah sebuah kecelakaan yang telah mencederai perjuangan bangsa Papua, yang telah mengancam eksistensi komando sayap militer dan sayap politik serga organ-organ perjuangan lain seperti kita sedang saksikan dalam sindang yang terhormat ini. Sulit bagi kita memahami bagaimana memelihara demokrasi dalam era revolusi, bagaimana sebuah bangsa berdemokrasi di era revolusi. Kita sedang memaksakan perkawinan dua makhluk yang speciesnya berbeda, seperti ikan hendak dikawinkan dengan ayam.

Kami berpandangan bahwa dari awal telah terjadi kecelakaan cukup memprihatinkan, dan akibatnya sampai dengan saat ini, pendekatan perjuangan bangsa Papua telah bergeser dari perjuangan yang inclusive, revolusioner dan progressive, menjadi perjuangan yang sangat elitist, exclusive dan demokratis. Dengan kata lain, kita, entah dengan sengaja atau tidak telah mengebiri semangat revolusioner yang progressive dan inclusive. Dengan gembira kita saksikan dalam sidang ini, di mana organisasi perjuangan yang selama ini aktiv di lapanangan tidak diberi hak yang sama, karena mereka tidak berafiliasi dengan tiga pilar pendiri, yaitu PNWP, WPNCL dan NFRPB.

West Papua Army berpandangan sama persis dengan perasaan, sikap dan pandangan organ non-afiliasi, bahwa West Papua Army harus diberikan posisi tersendiri dan terpisah dalam sidang ini. Ini era revolusi, bukan era demokrasi, tanpa militer, maka sebuah perjuangan pembebasan di abad ini tidak akan pernah berhasil. Tanpa organisasi yang revolusioner, inclusive dan progressive, dengan menempatkan sayap militer sebagai sayap terpenting dalam perjuangan, maka perjuangan politik akan mengalami jalan buntu, karena politik tidak mengenal benar atau salah, akan tetapi kepentingan, dan politik tidak mengenal musuh abadi, setiap saat selalu dinamis dan speculative.

Cukup dengan dua alasan ini, maka kami berpandangan bahwa Konstitusi ULMWP 2020 yang disusul dengan pembentukan Pemerintah ULMWP atau Pemeirntah Sementara ialah jalan terobosan yang formal, legal dan rasional untuk mengatasi yang kami anggap sebagai turbulence yang dialami oleh perjuangan bangsa Papua saat ini. Kami percaya, Konstitusi ULMWP 2020 ini jalan keluar dari kemacetan arus lalulintas komunikasi yang sedang terjadi saat ini.

Yang ketiga, kami tambahkan hal-hal teknis, akan tetapi cukup penting untuk diperhatikan. Kesatu, terpapar jelas dalam keseruruhan energi para pejuang kita bahwa “etika, moralitas dan rasa malu” atas perbuatan yang mencela perjuangan sama-sekali tidak terlihat dalam perjuangan kita. Ada individu atau organisasi dengan mudah keluar-masuk ULMWP tanpa rasa malu atau dengan tidak sopan. Kita bertahan pada posisi sebagai pejuang dan organisasi perjuangan, akan tetapi mencederai etika dan moral sebagai standard peradabaan sebuah bangsa. Tingkat peradaban kita diproyeksikan kepada dunia bahwa kita belum tahu malu.

Kedua, tabiat bangsa Papua sebagai pemberontak pemerintah atau pemimpin atau aturan atau kesepakatan sangat jelas terbawa dalam organisasi dan kepemimpinan kita orang Papua sendiri. Akibatnya apa? Kita bersikap tidak sopan kepada pempimpin kita sendiri. Kita selalu mencari kesalahan tetapi jarang memberikan solusi. Kita selalu melawan keputusan dan pemimpin yang telah kita anggap sebagai pemimpin, dan yang dipandang khalayak umum di dunia sebagai icon perjuangan bangsa Papua. Kita juga selalu berbantah-bantahan dan mengeluarkan sikap yang tidak tertib, tidak tahu adat dan tidak pantas. Kita harus belajar lagi kepantasan dan kepatutan kita dalam berinteraksi dan memperjuangkan aspirasi bangsa kita.

Yang terakhir, West Papua Army berkeyakinan dan karena itu mengundang kita semua agar dengan akal sehat dan mental revolusioner, mempelajari jiwa dari Konstitusi ULMWP 2020 dan mensahkannya. Mengapa demikian? Kami berikan tiga contoh. Kesatu, Konstitusi ULMWP 2020 telah memasukkan semua pihak ke dalam organ perjuangan bangsa Papua, termasuk gereja, adat, organ perjuangan lain dan komando-komando pertahanan, serta yang terpenting mencakup 7 Wilayah Adat Papua, Kaum Perempuan dan Anak, dan segenap makhluk selain makhluk manusia.

Kedua, Konstitusi ULMWP 2020 memformat ULMWP dengan memberikan lebih banyak ruang maneuver kepada pucuk pimpinan, tetapi waktu bersamaan sangat inclusive, di mana Komite Executive menjadi organ yang siap di mata Indonesia dan di mata dunia, ujung tombak yang dikawal oleh Dewan Legislatif dan Dewan Judicatif. Ini format yang, bagi kami, sangat ideal bagi konteks West Papua secara geografis dan bangsa Papua secara social, budaya dan dinamika real-politik.

Terpujilah nama  YHWH: Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus!

“Papua!…… “ “Merdeka!….”

Salute,

Amunggut Tabi, General WPRA
BRN: A.DF 018676

West Papua’s Saralana Declaration most vital unity development for 52 years

A unified movement represents a new hope for West Papuans to continue building momentum for their self-determination struggle in spite of allegations of a new atrocity in Paniai by Indonesian security forces this week, writes Ben Bohane from Port Vila.

IN A gathering of West Papuan leaders in Vanuatu earlier this month, different factions of the independence movement united to form a new body called the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

In kastom ceremonies that included pig-killing and gifts of calico, kava and woven mats, West Papuan leaders embraced each other in reconciliation and unity while the Prime Minister of Vanuatu, church groups and chiefs looked on. The unification meeting was facilitated by the Pacific Council of Churches.

The new organisation unites the three main organisations and several smaller ones who have long struggled for independence. By coming together to present a united front, they hope to re-submit a fresh application for membership of the Melanesian Spearhead Group (MSG) as well as countering Indonesian claims that the West Papuan groups are divided.

The divisions have tended to be more about personalities than any real policy differences since all the groups have been pushing for the same thing: independence from Indonesia. But the apparent differences had sown some confusion and gave cover to Fiji and others in the region to say the movement was not united and therefore undeserving of a seat at the MSG so far.

This narrative has been challenged by other leaders in the region, such as the Vanuatu Prime Minister Joe Natuman, who said that the very fact the West Papuans are a Melanesian people gives them the automatic right to be represented by the MSG.

Following the unification gathering, newly elected spokesperson for the ULMWP Benny Wenda said: “We West Papuans are united in one group and one struggle now.” Wenda claimed this was the most important gathering of West Papuan leaders since the struggle began 52 years ago.

Key groups united
The key groups to have united include the Federal Republic of West Papua (NRFPB); National Coalition for Liberation (WPNCL) and National Parliament of West Papua (NPWP), which incorporates the KPNB (National Committee for West Papua). An external secretariat consisting of five elected members from the various groups will now co-ordinate the ULMWP. Octovianus Mote, a former journalist who has been based in the US for many years, has been elected general secretary of the ULMWP.

Benny Wenda is the spokesperson and the other three elected members are Rex Rumakiek, Leone Tangahma and Jacob Rumbiak.

“The ULMWP is now the only recognised co-ordinating body to lead the campaign for MSG membership and continue the campaign for independence from Indonesia.”

General secretary Mote said at the close of the unification meeting: “I am honoured to be elected and very happy we are now all united. The ULMWP is now the only recognised co-ordinating body to lead the campaign for MSG membership and continue the campaign for independence from Indonesia.”

In a speech outside the Chief’s Nakamal (the hut which serves as a focal point for all the chiefs of Vanuatu), Mote spoke of the urgency of their situation. He quoted economist Dr Jim Elmslie, whose demographic projections suggest that Papuans will comprise only 29 percent of the population by 2020, highlighting the massive transmigration program that continue to bring settlers in from around Indonesia. Indigenous Papuans are already a minority in their own land – and Mote warned that once West Papua is fully “Asianised” then Papua New Guinea would be next.

Papua New Guinea is already under sustained pressure from Indonesia, witnessed by the last minute blocking of a charter flight organised for 70 delegates, many of whom had travelled for weeks through the jungle of West Papua to reach PNG, from leaving Jackson’s International Airport in Port Moresby. Peter O’Neill’s PNG government had originally organised and paid for the charter to get delegates to the Vanuatu meeting but appears to have succumbed to Indonesian anger. In the end five of the 70 delegates marooned in Port Moresby found commercial flights and got to Port Vila in time for the final day’s signing ceremony, which became known as the Saralana Declaration.

While Indonesia dangles the carrot of “assistance” and supporting Fiji and PNG’s bid for ASEAN membership, other Melanesian nations  are not so easily bought. No-one could accuse Vanuatu or its successive Prime Ministers of bowing to Indonesian pressure – the issue has bipartisan support there and has become a domestic political issue. Vanuatu’s current Prime Minister Joe Natuman gave full state support for the West Papuan gathering saying he didn’t care if Indonesia cut diplomatic relations with Vanuatu.

Traditional celebration
On December 1, the day West Papuans traditionally celebrate their independence day, Vanuatu’s leaders joined a large rally of supporters who marched through the capital Port Vila, led by the VMF (Vanuatu Mobile Force) marching band in uniform. Prime Minister Natuman was present at a flag raising ceremony which hoisted both the Vanuatu flag and West Papuan Morning Star independence flag. Indonesia promptly sent a “warning” to Vanuatu with unspecified threats.

West Papuan delegates were moved by Vanuatu’s support and spoke emotionally about ongoing atrocities and repression in their homeland. Even as they united, reports of more killings surfaced this week.

General Secretary Mote told me the next step is for the new movement to re-submit their MSG application for membership between February and March next year, with MSG leaders expected to make a decision when they meet in the Solomon Islands in June 2015.

No doubt some internal tensions will remain, given the tribal diversity of West Papua and its traditionally de-centralised leadership, but the newly unified movement under the ULMWP represents the best chance yet for the Papuans to continue building momentum for their struggle.

Ben Bohane is communications director of the Vanuatu-based Pacific Institute of Public Policy and writes for PiPP’s Pacific Politics blog.

Blog at WordPress.com.

Up ↑

Design a site like this with WordPress.com
Get started