Anum Siregar: Kalau ingin sejahterakan orang Papua, jangan pakai pendekatankeamanan

Papua No.1 News Portal / Hengky Yeimo / 14 hours ago

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar mempertanyakan dalil pemerintah bahwa pemekaran provinsi di Tanah Papua dilakukan untuk menyejahterakan masyarakat. Siregar menegaskan jika pemerintah ingin menyejahterakan Orang Asli Papua, pemerintah harus berhenti memakai pendekatan keamanan dan pengiriman militer untuk menyelesaikan masalah Papua.

Hal itu dinyatakan Latifah Anum Siregar selaku pembicara dalam diskusi daring Papua Strategic Policy Forum #11 bertema “Pemekaran Papua Untuk Siapa?” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada pada Kamis (24/2/2022). Siregar menyatakan wacana pemekaran provinsi di Tanah Papua muncul pasca gelombang protes atas insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019. Wacana pemekaran provinsi untuk membentuk lima provinsi baru di Tanah Papua itu dilontarkan para tokoh yang bertemu Presiden Joko Widodo pada 10 September 2019.

Lontaran para tokoh yang bertemu Jokowi itu kemudian direspon oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahmud MD. “Mahmud MD mengatakan bahwa untuk mempertimbangkan [kepentingan] strategis nasional dalam rangka mengokohkan NKRI, dan untuk percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat, serta melihat citra positif Indonesia di mata internasional,” kata Siregar.

Baca juga: DPR RI sudah siapkan Naskah Akademik pemekaran provinsi di Tanah Papua

Siregar mempertanyakan dalil kesejahteraan yang dijadikan alasan rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua. “Kalau pemerintah bilang masalah kesejahteraan, maka jangan melakukan pendekatan kemanan. Ini jug menajdi soal. Pemerintah harus melibatkan masyarakat Papua, bicara masalah-masalah konflik [terkait Hak] Sipil Politik [dan Hak] Ekonomi, Sosial Budaya untuk diakomodir dalam undang-undang. Karena masyarakat Papua atau representative OAP tidak dilibatkan saya menilai ini ada danya motif politik,” kata Siregar.

Siregar juga mengkritik proses revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Revisi UU Otsus Papua). Ia menilai revisi yang menghapuskan syarat persetujuan Majelis Rakyat Papua dan DPR Papua untuk melakukan pemekaran provinsi di Tanah Papua dalam Pasal 76 UU Otsus Papua dilakukan tanpa memperhatikan aspirasi Orang Asli Papua.

Siregar menilai penyusunan Naskah Akademik maupun penyiapan draft rancangan undang-undang pemekaran provinsi di Tanah Papua pun tidak melibatkan Orang Asli Papua. Ia mengingatkan, penyusunan draft rancangan undang-undang serta Naskah Akademik yang mengabaikan aspirasi orang Papua itu akan berdampak di kemudian hari, tidak hanya dalam pendekatan kesejaterahan, tapi juga kepada kualitas pembangunan.

Baca juga: Wali Kota Sorong: Pemekaran provinsi di Tanah Papua jangan dilihat dari sisi negatif

“Perencanaan pemekaran di [Provinsi] Papua itu bebeda dengan rencana pemekaran [Provinsi Papua Barat untuk membentuk] Provinsi [Papua] Barat Daya. Saya pikir proses [pembentukan Provinsi Papua] Barat Daya sangat cepat dan sesuai dengan amanah UU Otsus Papua, melalui inisiatif Majelis Rakyat Papua Barat dan DPR Papua Barat [sebagaimana diatur] Pasal 76, [dibahas bersama-sama] pemerintah dan DPR Papua Barat, dan Majelis Rakyat Papua Barat,” kata Siregar.

Akan tetapi, rencana pembentukan sejumlah provinsi baru di Provinsi Papua belum pernah mendapatkan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. “Perencanaan pemekaran dilaksanakan sejalan dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, karena MRP dan DPR Papua tidak dilibatkan. Itu juga bisa berdampak buruk,” kata Siregar.

Siregar menyatakan pendekatan untuk menjalankan proses pemekaran provinsi di Provinsi Papua sangat sentralistik. Proses itu bisa dijalankan karena pemerintah dan DPR RI mengubah ketentuan Pasal 76 dalam UU Otsus Papua yang lama.

Baca juga: MRP: Pemekaran akan membunuh orang asli Papua

“Pemekaran itu sangat  sentralistis, perubahan UU Otsus Papua itu sangat jelas, sangat [sentralistik]. Pemaparan Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung menjelaskan pemerintah pusat sudah siap mengangkat inisitif DPR RI, tanpa melibatkan masyarakat. Itu semangat sentralistik,” katanya.

Siregar menyatakan, pemekaran provinsi di Provinsi Papua disebut-sebut untuk tujuan kesejahteraan. Seharusnya, demikian menurut Siregar, DPR RI menyerap aspirasi Orang Asli Papua, dan usulan pemekaran harus dari masyarakata akar rumput.

“Orang Papua harus dilibatkan dalam membuat peraturan. Ajak orang Papua bicara untuk membuat undang-undang. Jangan pemerintah dan DPR RI yang membuat undang undang tanpa melibatkan MRP dan DPR Papua. Pemekaran itu murni produk Jakarta, bukan lagi [aspirasi] orang Papua,” katanya.

Baca juga: KNPB: Pemekaran adalah strategi memecah belah orang Papua

Sebelumnya, dalam diskusi daring bertajuk “ Media Briefing: Hak-hak Orang Asli Papua dan Polemik Pemekaran Provinsi Papua” yang dilaksanakan Public Virtue Research Institute pada Rabu (23/02/2022), Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua, Yoel Luiz Mulait menyatakan revisi UU Otsus Papua telah membuat kekhususan Otonomi Khusus Papua hilang. Mulait menjelaskan ada 24 wewenang khusus yang diatur UU Otsus Papua yang lama, namun hanya ada empat wewenang yang dijalankan.

Keempat kewenangan khusus itu adalah Gubernur dan Wakil Gubernur Papua harus Orang Asli Papua, pembentukan MRP, anggota DPR Papua yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan, dan kucuran Dana Otsus Papua. “Yang lainnya, termasuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak jalan. Kami berharap pelaksanaan Otsus [membawa] perubahan baik bagi orang Papua. Akan tetapi, dalam pelaksanaan Otsus tidak ada hal yang baru, tidak ada kekhususan bagi orang di tanah Papua,” ujarnya.

Sejumlah 20 kewenangan khusus yang tidak bisa dijalankan itu tidak menjadi bahan evaluasi, dan tidak menjadi fokus revisi UU Otsus Papua. Melalui UU Revisi UU Otsus Papua, pemerintah dan DPR RI justru melonggarkan aturan tentang pemekaran provinsi di Tanah Papua, dengan menghapuskan syarat bahwa pemekaran provinsi harus disetujui MRP dan DPR Papua. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Visit website

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑

Design a site like this with WordPress.com
Get started